Menu Blog

Tuesday, May 15, 2012

Prosedur Pelaksanaan Tes

A. Istilah-istilah dalam Pelaksanaan Tes
Sebelum sampai pada uraian yang lebih jauh, maka akan di terangkan dahulu arti dari beberapa istilah-istilah yang berhubungan dengan tes ini.
1.  Tes
Tes merupakan alat atau prosedur yang di gunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-atutran yang sudah ditentukan. Untuk mengerjakan tes ini tergantung dari petunjuk yang diberikan misalnya: melingkari salah satu huruf di depan pilihan jawaban, menerangkan, mencoret jawaban yang salah, melakukan tugas atau suruhan, menjawab secara lisan dan sebagainya.
2.  Testing
Testing merupakan saat pada waktu tes di laksanakan. Dapat juga di katakana testing adalah saat pengambilan tes
3.  Testee
Testee adalah responden yang sedang mengerjakan tes. Orang-orang inilah yang akan di nilai atau di ukur, baik mengenai kemampuan, minat, bakat, pencapaian, dan sebagainya.
4.  Tester
Tester adalah prang yang diserahi untuk melaksanakan pengambilan tes terhadap para responden. Dengan kata lain tester adalah subjek evaluasi (tetapi adakalanya hanya orang yang di tunjuk oleh subjek evaluasi untuk melaksanakan tugasnya).
Tugas tester antara lain:
a.Mempersiapkan ruangan dan perlengkapan yang di perlukan.
b.Membagikan lembaran tes dan alat-alat lain untuk mengerjakan.
c.  Menerangkan cara mengerjakan tes.
d.  Mengawasi responden mengerjakan tes.
e.  Memberikan tanda-tanda waktu.
f.   Mengawasi responden mengerjakan tes.
g.  Mengisi berita acara atau laporan yang diperlukan (jika ada)[1].

B. Teknik Pelaksanaan Tes Hasil Belajar
Di tinjau dari bentuk pelaksanaannya, tes dapat di bagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1.  Tes tertulis
2.  Tes lisan
3.  Tes perbuatan (performance test)[2].
Pada tes tertulis, soal-soal tes di tuangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes juga tertulis. Pada tes lisan, soal-soal di ajukan secara lisan dan di jawab secara lisan pula. Namun demikian dapat juga soal-soal tes di ajukan secara lisan dan dalam waktu yang di tentukan, jawaban harus di buat secara tertulis. Adapun pada tes perbuatan, wujud soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang harus di laksanakan oleh testee, dan cara penilaianya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang di capai setelah testee melaksanakan tugas tersebut[3].

C. Prosedur Pelaksanaan Tes Tertulis
Dalam melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu sebagaimana di kemukakan berikut ini.
1.   Agar dapat mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat ketenangan, seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes di pilihkan yang jauh dari keramaian, kebisingan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya orang. Adalah sangat bijaksana apabila di luar ruangan tes di pasang papan bemberitahuan.
2.     Ruangan tes harus cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat duduk di atur dengan jarak tertentu yang memungkinkantercegahnya kerja sama yang tidak sehat di antara testee.
3.    Ruangan tes sebaiknya memiliki system pencahayaan dan pertukaran udara yang baik. Ruangan yang gelap atau remang-remang disamping menyulitkan testee dalam membaca soal dan menuliskan jawabanya, juga menyulitkan bagi tester atau pengawas tes dalam menunaikan tugasnya. Ruang tes yang terlalu terang atau terlalu menyilaukan mata, disamping dapat menimbulkan udara panas juga dapat menyebabkan testee cepat menjadi letih.
4.     Jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas empat penulis, maka sebelum tes di laksanakan hendaknya sudah disiapkan alat berupa alas tulis yang terbuat dari triplex, hardboard atau bahan lainya, sehingga testee tidak harus menuliskan jawaban soal tes yang di letakkan di atas paha sebagai alas tulisnya.
5. Agar testee dapat memulai mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya lembar soal-soal tes di letakkan secara terbalik, sehingga tidak memungkinkan bagi testee untuk membaca dan mengerjakan soal lebih awal dari pada teman-temanya. Dalam hubungan ini testee harus di beri tahu bahwa mereka baru boleh memulai mengerjakan soal tes setelah tanda waktu bekerja di lakukan.
6.     Dalam mengawasi jalanya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar. Artinya jangan terlalu banyak bergerak, terlalu sering berjalan-jalan dalam ruangan tes sehingga mengganggu konsentrasi testee. Sebaliknya, pengawas tes juga jangan selalu duduk di kursi sehingga dapat membuka peluang bagi testee yang tidak jujur untuk bertindak curang (kerja sama dengan testee lainya, atau menyontek). Jika pengawas tes lebih dari satu orang, sebaiknya jangan terlalu banyak bercakap-cakap yang dapat mengganggu ketenangan tes. Dengan demikian pelaksanaan tes hasil belajar akan berlangsung tidak terlalu longgar dan tidak pula terlalu mencekam.
7.     Sebelum berlangsungya tes, hendaknya sudah di tentukan terlebih dahulu sanksi yang dapat di kenakan kepada testee yang berbuat curang. Sanksi itu dapat berupa tindakan mengeluarkan testee dari ruangan tes dan karenanya tesnya di anggap gugur, atau dengan jalan membuat berita acara tentang terjadinya kecurangan tersebut, atau menuliskan kata “curang” di atas kertas pekerjaan estee yang berbuat curang itu.
8.    Sebagai bukti mengikuti tes, harus di siapkan daftar hadir yang harus di tanda tangani oleh seluruh peserta tes. Dalam mengedarkan daftar hadir tes itu hendaknya di usahakan agar tidak mengganggu ketenangan jalanya tes.
9.     Jika waktu yang telah di tentukan telah habis, hendaknya testee di minta untuk menghentikan pekerjaanya dan secepatnya meninggalkan ruangan tes. Tester atau pengawas tes hendaknya segera mengumpulkan lembar-lembar pekerjaan (jawaban) tes seraya meneliti, apakah jumlah lembar jawaban tes itu sudah sesuai dengan jumlah testee yang tercantum dalam daftar hadir tes.
10. Untuk mencegah timbulnya berbagai kesulitan di kemudian hari, pada berita acara pelaksanaan tes harus di tuliskan secara lengkap, berapa orang estee yang hadir dan siapa yang tidak hadir, dengan menuliskan identitasnya (nomor urut, nomor induk, nomor ujian, nama dan sebagainya), dan apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan atau kelainan-kelainan harus di catat dalam berita acara pelaksanaan ter tersebut[4].

D. Prosedur Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa petunjuk praktis ini kiraya dapat dipergunakan sebagagai pegangan dalam pelaksanaan tes lisan.
1. Sebelum tes lisan di lakasanakan seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi sebagai jenis soal yang akan di ajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut, sehingga tes lissan dapat di harapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari segi isi maupun kontruksinya.
2.  Setiap butir soal yang telah di tetapkan untuk di ajukan dalam tes lisan itu, juga harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban betulnya. Karena para tester atau evaluator berasal dari latar belakang kailmuan yang berbeda-beda dengan berbagai nilai dan pandangan dasar yang berbeda pula[5]. Hal ini di maksudkan agar tester disamping mempunyai kriteria yang pasti dalam memberikan skor atau nilai kepada testee atas jawaban yang mereka berikan dalam tes lisan tersebut, juga tidak akan terpukau atau terkecoh dengan jawaban panjang lebar atau berbelit-belit yang diberikan oleh testee, yang menurut testee merupakan jawaban betul dan tepat, padahal menurut kriteria yang di tentukan sesungguhnya sudah menyimpang atau tidak ada hubunganya dengan soal yang di ajukan kepada testee.
3. Jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh testee menjalani tes lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat di tentukan di saat masing-masing testee selesai dites. Hal ini di maksudkan agar bemberian skor atau nilai hasil tes lisan yang diberikan kepada testee itu tidak di pengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh testee yang lain.
4.  Tes hasil belajar yang di laksanakan secara lisan hendaknya jangan sampai menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi. Tester harus senantiasa menyadari bahwa testee yang ada di hadapanya adalah testee yang sedang “diukur” dan “dinilai” prestasi belajarnya setelah nereka menempuh proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian apabila terjadi bahwa jawaban yang diberikan oleh testee yang sekalipun menyimpang dari kriteria yang telah di tentukan, namun sebenarnya tidak dapat disalahkan atau tidak sepenuhnya salah, cukup di berikan skor atau nilai dan tidak perlu disangkal atau diperdebatkan, yang dapat mengakibatkan kegiatan evaluasi berubah menjadi kegiatan diskusi.
5.  Dalam rangka menegakkan prinsip objektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes yang di laksanakan secra lisan itu, tester hendaknya jangan sekali-kali “memberikan angina segar” atau “memancing-mancing” dengan kata-kata, kalimat-kalimat, atau kode tertentuyang sifatnya menolong testee tertentu alasan “kasihan” karena tester menaruh “rasa simpati” kepada testee yang di hadapinya itu. Menguji pada hakekatnya adalah “mengukur” dan bukan “membimbing” testee.
6.  Tes lisan harus berlangsung secara wajar. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa tas lisan itu mengandung makna bahwa tes lisan itu jangan sampai menimbulkan rasa takut, gugup, atau panic di kalangan testee. Karena itu, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada testee, tester harus menggunakan kata yang halus, bersifat sabar dan tidak emosional. Penggunaan kalimat-kalimat yang sifatnya “menteror”, yang meimbulkan tekanan psikis pada testee, haruslah di cegah.
7. Sekalipun acapkali sulit untuk diwujudkan, namun sebaiknya tester mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang pasti, berapa lama atau berapa waktu yang disediakan bagi tiap peserta tes dalam menjawab soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan pada tes lisan tersebut. Harus diusahakan terciptanya keseimbangan alokasi waktu, antara testee yang satu dengan testee yang lain.
8. Pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan dalam tes lisan hendaknya di buat bervariasi, dala arti bahwa inti pesoalan yang ditanyakan itu sama, namun cara pengajuan pertanyaanya dibuat berlainan atau beragam. Hal ini dimaksudkan agar testee yang dites lebih akhir (karena sudah memnperoleh informasi dari testee yangyang telah dites terdahulu), jangan sampai memperoleh nasib yang lebih mujur ketimbang testee yang dites lebih awal.
9. Sejauh mungkin dapat diusahakan agar tes lisan itu berlangsung secara individual (satu demi satu). Hal ini di maksudkan agar tidak mempengaruhi mental testee yang lain. Misalnya apabila dalam tes lisan itu secara serempak tester berhadapan dengan dua orang testee atau lebih dan pertanyaan yang sedang di ajukan kepada testee yang mendapat kesempatan lebih awal tidak mungkin dapat di jawab oleh testee berikutnya, maka mental testee yang belum di tes itu akan menjadi menurun, sehingga akan mempengaruhi jawaban-jawaban berikutnya. Selain itu hal tersebut diatas juga dimaksudkan agar tidak memberikan “angin segar” kepada testee yang belum dites, sebab mereka mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menyiapkan jawabannya ketimbang testee yang sedang atau sudah selesai dites[6].   

E. Prosedur Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes perbuatan pada umumnya di gunakan untuk mengukur taraf kompetensi yang bersifat ketrampilan (psikomotorik), dimana penilaianya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh testee setelah melaksanakan tugas tersebut.
Karena tes ini bertujuan ingin mengukur keterampilan, maka sebaiknya tes perbuatan ini di laksanakan secara individual. Hal ini di maksudkan agar masing-masing individu yang dites akan dapat di amati dan dinilai secara pasti, sejauh mana kemampuan atau keterampilanya dalam melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada masing-masing individual tersebut.
Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh tester.
1.  Tester harus mengamati dengan teliti, cara yang ditempuh oleh testee dalam menyelesaikan tugas yang di tentukan.
2. Agar dapat di capai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya testr jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang data mempengaruhi testee yang sedang mengerjakan tugas tesebut.
3. Dalam mengamati testee yang sedang melaksanakan tugas itu, hendaknya tester telah menyiapkan instumen berupa lembar penilaian yang di dalamya telah ditentukan hal-hal apsajkah yang harus di amati dan di berikan penilaian[7].



[1]Suharsimi, Arikunto. 1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 53-54
[2]M. Ngalim, Purwanto. 2006. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm 110
[3]Anas, Sudijono. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada. Hlm 151
[4]M. Ngalim, Purwanto. 2006. Prinsip-prinsip….Hlm 151-153
[5]Djuju, Sudjana. 2006. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm 278
[6]M. Ngalim, Purwanto. 2006. Prinsip-prinsip…Hlm 154-156
[7]Ibid. Hlm 156-157

No comments:

Post a Comment