BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iman seseorang
dapat menjadi semakin kuat jika orang tersebut mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
terpuji serta tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Sebaliknya iman seseorang
dapat menjadi berkurang, lebih jauh lagi menjadi murtad jika orang tersebut
selalu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang di larang oleh Allah. Baik dosa
besar maupun dosa kecil jika sering di langgar tentu akan merusak iman
seseorang. Maka dari itu sangat perlu kontrol diri sendiri untuk pencegahan
akhlak madzmumah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak Madzmumah
(Akhlak Tercela)
Akhlak tercela yaitu akhlak yang
tidak dalam control ilahiyah atau berasal dari hawa nafsu yang berada dalam
lingkaran syaitaniyah dan dapat membawa suasana negative serta deskruktif bagi
kepentingan uamat manusia.[1]
Akhlak tercela adalah semua sikap dan perbuatan yang
dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik bagi pelakunya
ataupun orang lain.[2]
B.
Macam-Macam Akhlak Madzmumah (Akhlak Tercela) dan Cara Mencegahnya
1. Ujub
Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: "Yaitu perasaan
takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama
daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal
saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara' dari perkara haram dan
lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!". Orang yang demikian itu,
beranggapan bahwa segala kesuksesan yang diraihnya, seperti harta yang
melimpah, jabatan yang tinggi, kepandangan yang tak tertandingi semata-mata
karena hasil usaha serta kehebatan dirinya. Semua itu ia pikir, ia raih tanpa
bantuan dari siapapun, termasuk Allah SWT. orang yang bersikap/berperilaku ‘ujub’
biasanya selalu merasa dirinya benar, tidak pernah salah atau keliru,
karenanya tidak bisa menerima kritik orang lain.
Ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang ujub antar lain Surat At-Taubah:55 yang artinya:
Artinya: “Dan
janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu (menjadikan kamu
bersikap ujub). Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia
dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan
kafir”. (QS. Taubah: 55)
Abu Wahb
al-Marwazi berkata, Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, Apakah kibr (sombong)
itu?،¨ Dia menjawab, Jika engkau merendahkan orang lain.،¨ Lalu aku bertanya
tentang ujub, maka dia menjawab jika engkau memandang bahwa dirimu memiliki
kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, aku tidak tahu sesuatu yang
lebih buruk bagi orang yang shalat daripada ujub.
Berikut ini adalah hal-hal yang Dipakai 'Ujub dan Terapinya:
1. Ujub dengan fisiknya
Pengobatan jenis 'ujub ini
adalah dengan tafakkur (memikirkan)
tentang berbagai kotoran batinnya, tentang mula penciptaan dan akhir
kesudahannya, tentang bagaimana wajah yang cantik dan tubuh yang gemulai itu
akan terkoyak-koyak oleh tanah dan membusuk di kubur hingga menjijikkan.
2. Ujub dengan kedigdayaan
dan kekuatan
'Ujub dengan kekuatan
mengakibatkan kekalahan dalam peperangan, pencampakan diri ke dalam kebinasaan
dan terburu-buru. Terapinya ialah dengan mengetahui bahwa meriang sehari saja
bisa melemahkan kekuatannya dan bahwa apabila ia ujub dengan kekuatannya bisa
jadi Allah akan mencabutnya dengan sebab pelanggaran paling ringan yang
dilakukannya.
3. Ujub dengan
intelektualitas
Terapinya ialah dengan
bersyukur kepada Allah atas karunia intelektualitas yang telah diberikan-Nya,
dan merenungkan bahwa dengan penyakit paling ringan yang menimpa otaknya sudah
bisa membuatnya berbicara melantur dan gila sehingga menjadi bahan tertawaan
orang. Ia tidak aman dari ancaman kehilangan akal jika ia ujub dengan
intelektualitas dan tidak mensyukurinya. Hendakalah ia menyadari keterbatasan
akal dan ilmunya. Hendaklah pula ia mengetahui bahwa ia tidak diberi ilmu
pengetahuan kecuali sedikit, sekalipun ilmu pengetahuannya luas.
4. Ujub dengan nasab terhormat
Terapi penyakit ini adalah
mengatahui bahwa jika ia menyalahi perbuatan dan akhlak nenek moyangnya dan
mengira bahwa ia akan disusulkan dengan mereka maka sesungguhnya ia bodoh,
tetapi jika meneladani nenek moyangnya maka hendaknya mengetahui bahwa nenek
moyangnya tidak pernah ujub bahkan mereka senantiasa khawatir terhadap dirinya.
Mereka mulia karena ketaatan, ilmu, dan sifat-sifat terpuji bukan dengan nasab.
5. Ujub dengan nasab para
penguasa yang zhalim dan pendukung meraka.
Terapinya adalah dengan
merenungkan tentang berbagai kehinaan mereka dan tindakan-tindakan kezhaliman
mereka terhadap para hamba Allah, kerusakan yang meraka lakukan terhadap agama
Allah, dan bahwa mereka adalah orang yang dimurkai Allah.
6. Ujub dengan banyaknya
jumlah anak, pelayan, budak, keluarga, kerabat.
Terapinya adalah merenungkan
tentang kelemahannya dan kelemahan mereka, bahwa mereka semua adalah hamba yang
lemah, tidak kuasa memberi manfaat dan bahaya kepada diri mereka sendiri.
7. Ujub dengan harta
Terapinya adalah merenungkan
tentang keburukan-keburukan harta kekayaan, hak-haknya yang banyak, dan para
pendengkinya yang rakus. Kemudian memperhatikan keutamaan orang-orang fakir dan
bahwa mereka akan masuk surga terlebih dahulu pada hari kiamat.
8. Ujub dengan pendapat yang
salah
Terapi ujub ini lebih berat
ketimbang terapi 'ujub yang lainnya, karena pemilik pendapat yang salah tidak
mengetahui kesalahannya, seandainya tahu pasti ditinggalkannya. Tidak akan
mengobati penyakit orang yang tidak tahu bahwa dirinya sakit. Terapinya secara
umum adalah hendaknya ia selalu menuduh pendapatnya sendiri dan tidak
terpedaya, kecuali jika secara pasti didukung oleh Al-Qur'an atau sunnah atau
dalil akal yang shahih yang memenuhi berbagai persyaratannya.
2.
Takabbur
Takabbur adalah
sikap perilaku membesarkan diri dan tidak menerima kebenaran serta memandang
kecil atau rendah terhadap orang lain. Dalam bahasa Indonesia perkataan takabur
sama dengan sombong. Sikap/perilaku takabur termasuk akhlak tercela dan wajib
dijauhi oleh setiap muslim muslimah. Sebagaimana Allah berfirman:
“Tidak
diragukan lagi, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan
apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
takabbur (sombong). (QS.
An-Nahl:23)
Sifat sombong
dibagi menjadi kesombongan batin dan kesombongan zhahir. Kesombongan batin
adalah kesombongan yang terdapat dalam jiwa (hati), sedangkan kesombongan zahir
adalah kesombongan yang dilakukan anggota zahir, karena tingkah laku seseorang
merupakan akibat dari apa yang terjadi di hatinya. Kesombongan batin akan
memaksa anggota tubuh untuk melakukan hal-hal yang bersifat sombong, maka
apabila hanya menyimpan di dalam hati tanpa ada tindakan disebut dengan kibr
(sifat sombong).
Orang yang
memiliki sifat sombong tidak menyadari bahaya yang dapat di timbulkan dari
sifat ini. Rasulullah bersabda :
“Tidak akan masuk surga
(memperoleh kebahagiaan) orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun
sebesar semut”.
(HR. Muslim)
Terapi sifat
sombong dan cara memperoleh sifat tawadhu’
Terapi sifat sombong pertama adalah menghilangkan akar penyakit ini. Terapi pengobatannya adalah dengan ilmu dan amal. Karena penyakit ini tidak mungkin dapat disembuhkan kecuali dengan kedua hal itu. Pengobatan melalui ilmu adalah dengan mengetahui siapa dirinya dan siapa Penciptanya. Apabila seseorang telah mengetahui dan menyadari dengan benar siapa hakikat dirinya, maka dia akan merasa dirinya hina dan penuh kelemahan. Selanjutnya, akan menjadikannya sebagai seorang yang tawadhu’. Sedangkan pengobatan melalui amal adalah dengan membiasakan merendah diri (tawadhu’) terhadap orang lain dan mengikuti akhlak-akhlak orang yang memiliki sifat tawadhu’.
Terapi sifat sombong pertama adalah menghilangkan akar penyakit ini. Terapi pengobatannya adalah dengan ilmu dan amal. Karena penyakit ini tidak mungkin dapat disembuhkan kecuali dengan kedua hal itu. Pengobatan melalui ilmu adalah dengan mengetahui siapa dirinya dan siapa Penciptanya. Apabila seseorang telah mengetahui dan menyadari dengan benar siapa hakikat dirinya, maka dia akan merasa dirinya hina dan penuh kelemahan. Selanjutnya, akan menjadikannya sebagai seorang yang tawadhu’. Sedangkan pengobatan melalui amal adalah dengan membiasakan merendah diri (tawadhu’) terhadap orang lain dan mengikuti akhlak-akhlak orang yang memiliki sifat tawadhu’.
3. Putus asa
Putus asa adalah
suatu sikap atau perilaku seseorang yang menganggap drinya telah gagal dalam
menghasilkan sesuatu harapan cita-cita. Ia tidak mau kembali lagi untuk
berusaha yang kedua kalinya. Semua umat manusia pasti merasakan putus asa. Dan
umat itu pastilah menjadi lemah dan lenyap kekuatannya karena putus asa
merupakan penyakit atau racun yang benar-banar membahayakan bagi setiap pribadi
manusia.
Bukan sembarangan
jika Allah SWT. dalam salah satu firman-Nya, mempersamakan antara sifat putus
asa itu dengan sifat kekafiran. Sebabnya tiada lain hanyalah karena bencana
yang ditimbulkan oleh kedua macam sifat itu sama-sama besar dan dahsyat. Firman
Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya: “janganlah kamu semua berputus asa dari
rahmat Allah, sesungguhnya tidak tidak ada yang suka berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan golongan orang-orang kafir”. (QS. Yusuf:87)
Allah SWT menyamakan sifat putus asa dengan kekafiran,
karena bencana yang ditimbulkan oleh kedua sifat itu sama besar dan dasyat.
Karena apabila ia diberi beban atau sesuatu yang harus siselesaikan dan perlu
segera dilaksanakan demi kepentingan masyarakat, ia meninggalkannya secara
perlahan-lahan, bahkan terkadang tidak mengerjakan sama sekali. Ia merasa
keberatan atau menganggap bahwa apa yang dititipkankepadanya terlampau berat
sehingga ia enggan dan berputus asa untuk meneruskannya. Tentu saja hal itu
merugikan diri sendiri dan masyarakat.
Sifat putus asa akan memuat kebekuan, kelumpuhan, dan kemunduran. Selain
itu, sifat putus asa juga dapat menyebabkan seseorang bagaikan seekor binatang
yang selalau membisu, apa yang dilakukannya hanya berdasarkan pada instingnya.
Orang berputus asa sma sekali tidak terpikirkan tentang kemajuan diri untuk
meningkatkan untuk meniingkatkan keatas (lebih baik) dan menjadi makhluk yang
sempurna, berpandang luas dan kepribadian yang baik bahkan utuk meraih
cita-citanya.
Usaha-usaha untuk tidak mudah
terjerumus dalam sifat putus asa, diantaranya:
a) Terpilaharanya kekuatan iman
pada diri seseorang.
b) Meningkatan ketakwaan dan
taqarrub kepada Allah SWT.
c) Menjaga harkat dan martabat
serta derajat kemanusiaan.
d) Menjadi orang yang tabah
dalam menjalani kehidupan.
e) Menubuhkan kesadaran untuk
memicu diri dalam beramal shaleh.
f) Meningkatkan kesadaran diri
untuk mengabdi kepada Allah SWT.[3]
4. Berlebih-lebihan
Berlebih-lebihan
adalah melakukan sesuatu di luar batas ukuran yang menimbulkan kemudharatan
baik langsung ataupun tidak kepada manusia dan alam sekitarnya. Pada dasarnya
sikap berlebih-lebihan akibat dari sikap manusia yang tidak bisa mengendalikan
hawa nafsunya. Sekecil apa pun perbuatan manusia berlebih-lebihan akan memberi
dampak negatif bagi manusia dan alam sekitarnya seperti kerusakan moral, harta
benda dan kerusakan alam.
Sikap berlebih-lebihan
sangat dibenci Allah, sebagaimana dalam firmannya :
Artinya: “Dan janganlah
kamu berlebih-lebihan, Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan”. (QS. Al-An’am:141).
Allah juga
menegaskan dalam ayat lain, yakni:
Artinya: “Dan berilah
kepada kerabat-kerabat akan haknya (juga kepada) orang muslim dan orang yang
dalam perjalanan, dan janganlah engkau boros. Sesungguhnya orang-orang yang
boros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS.
Al-Isra’: 26-27).
Beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menghindari sikap berlebih-lebihan antara lain sebagai
berikut:
a.
Senantisa bersyukur kepada Allah SWT.
b.
Mengatur anggaran keuangan denga menabung.
c.
Senantiasa berhemat dan membelanjakan harta seperlunya.
d.
Melakukan sesuatu sesuai ukurannya.
5.
Iri Hati atau Dengki (Hasad)
Syeikh Abu Hamid
Al-Ghazali berkata: “Ketahuilah bahwa tidak ada kedengkian (hasad), kecuali
terhadap kenikmatan, jika Allah memberi nikmat kepada saudaramu, maka ada dua
hal yang ada pada dirimu. Pertama, benci kepada seseorang yang memperoleh
nikmat, dan berharap agar nikmat itu lenyap dari padanya. Keadaan ini disebut
dengki. Batasan dengki adalah benci terhadap nikmat, dan ingin melenyapkan dari
orang yang mendapat karunia. Kedua, ia sendiri mengharapkan agar mendapat
nikmat itu tanpa berusaha melenyapkan nikmat yang dimiliki orang lain.
Dengki dapat di timbulkan karena iri melihat orang maju,
seperti teman mendapat jabatan, teman memperoleh harta sehingga menjadi kaya,
dan lain sebagainya[4].
Sifat pertama di
atas adalah haram hukumnya dalam segala hal. Betapa ganasnya penyakit nafsiyah
ini menyerang manusia, bisa kita lihat dalam berbagai hadits Rasulullah SAW. Di
antaranya :
“Hasad itu
memakan kebaikan sebagaimana api yang melalap kayu bakar”. (HR. Abu Daud dari Abu
Hurairah, dan Ibnu Majah dari Abbas)
“Janganlah
kalian saling mendengki, jangan saling memutuskan hubungan persaudaraan, jangan
saling membenci, jangan pula saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba
Allah sebagai saudara”.(HR.
Bukhari Muslim)
Orang yang
memiliki sifat dengki juga bisa dilihat jika ia merasa bahagia ketika orang
lain mendapatkan suatu bencana atau musibah. Kegembiraan yang demikian itu
dinamakan Syamatah, yaitu bahagia yang timbulnya sebab mendengar atau
melihat adanya kesusahan, kemelaratan, kecelakaan yang menimpa orang yang
dianggap saingan atau lawan. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang
artinya :
“Jika kamu memperoleh
kebaikan, niscaya mereka bersedih hati. Tapi jika kamu mendapat bencana, mereka
bergembira karenanya”.(HR.
Ali Imran:120)
Dengki adalah
pangkal dari semua perilaku tercela. Misalnya menggunjing, adu domba, menyebar
fitnah. Oleh sebab itu, sifat dengki harus dijauhi karena sifat ini hanya akan
membawa manusia terhadap kemelaratan dan rusaknya silaturahim.
Bahaya mempunyai
sifat Hasad (iri hati atau dengki), di antaranya:
1) Mengurangi teman dan
mempersempit pergaulan
2) Menciptakan musuh.
3) Merusak kesehatan
4) Menghilangkan pahala kebaikan[5]
Solusi untuk
menghindari sifat dengki, di antaranya:
1) Menyadari dan selalu ingat
bahwa iri dengki hanya akan menghapus amal baik kita.
2) Menyadari dan senantiasa
bersyukur atas semua nikmat yang telah Allah berikan.
3) berikhtiyar dan berdoa
6.
Menfitnah
Namimah
atau memfitnah adalah perbuatan yang menceritakan tingkah laku seseorang kepada
orang lain (dengan cerita yang tidak jujur) bertujuan agar terjadi perpecahan.
Namimah
artinya mengadu domba, yaitu kegiatan mengadu dua orang atau kelompok supaya
bermusuhan dan saling membenci.[6]
Pengerian
menfitnah, yang berkembang dimasyarakat adalah adu domba, yaitu seseorang
menceritakan kelakuan orang lain dengan cerita yang palsu atau yang dibuat-buat
dengan tujuan menghancurkan dan menjatuhkan atau merendahkan nama baik
seseorang atau golongan. Oleh sebab itu, fitnah di katakan
lebih kejam dari pada pembunuhan, mengapa demikian? Jika pembunuhan hanya
merusak jasmani seseorang, maka fitnah merusak mental, menyulut permusuhan, dan
sering berakhir dengan perkelahian atau peperangan yang banyak menelan korban
jiwa[7].
Bahaya fitnah
sebagai berikut:
a. Fitnah dapat berakibat
pembunuhan
Artinya :
“Dan fitnah itu lebih besar bahaya dari pembunuhan”. (QS. Al-
Baqarah:191)
b. Timbulnya kekacauan dalam
masyarakat
c. Timbulnya permusuhan.[8]
Allah SWT
melukiskan bahaya menfitnah itu melebihi bahayanya pembunuhan, karena orang
atau golongan yang difitnah akan terbunuh kariernya dan nama baiknya.
Rasulullah SAW, memberikan
peringatan dengan sabdanya:
Artinya:
“maukah
ku kabarkan kepadamu sekalian, akan orang-orang yang paling jahat di antara kamu?
Mereka menjawab: mau…! “bersabda Rasulullah SAW: itulah orang yang membawa-bawa
fitnah, merusak hubungan orang yang sedang berkasih-kasihan dan mencari aib-aib
orang yang tidak brsalah” (HR.Muslim).
Cara menghindari
sifat namimah atau fitnah dari orang lain adalah dengan melakukan tabayyun atau konfirmasi tentang
kebenaran berita
Hikmah
menghindari fitnah adalah sebagai berikut:
a. Kedamaian dan ketretraman
b. Persaudaraan
c. Persatuan dan kesatuan
7.
Mencuri
Mencuri adalah
mengambil milik orang lain dengan jalan yang
sah.mencuti sangat merugikan orang lain dalam hal materi, merugikan
seseorang, kelompok maupun golongan sampai merugikan Negara.
Syariat islam
sangat melindungi hak milik orang atau kelompk atau Negara. Firman Allah SWT:
Artinya:
“laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Maidah: 38)
Hikmah menghindari sikap
mencuri adalah sebagai berikut:
a. Menghormati atau menjaga hak
milik.
b. Menjaga harga diri.
c. Membawa ketenangan hari.[9]
8.
Khianat
Khianat artinya
tipu daya dan perbuatan yang tidak setia. Sedangkan penghianatan adalah orang
yang tidak setia kepada Negara, teman dan sebagainya. Khianat ini salah satu
tanda orang munafiq. Sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“tanda munafiq itu tiga: apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ian
ingkari dan apabila dipercaya ia khianati. (HR.Bukhari dan Muslim)
Menghindari sifat khianat dapat
dilakukan dengan cara berperilaku amanah.
Hikmah menghindari sikap
Khianat, diantaranya:
a. Terwujudnya keamanan dan
ketertiban.
b. Menciptakan kedamaian dan
ketenangan.
c. Dipercaya dan mudah meraih
cita-cita.
d. Terciptanya kesenangan dan
kemakmuran.[10]
C. Bahaya Akhlak Tercela
Adapun bahaya yang
ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu seperti di sebutkan oleh Ibnu
Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:
1. Terhalangnya ilmu agama
karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam hati, dan maksiat
mematikan itu.
2. Terhalangnya rezeki,
seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa
yang menimpanya."
3. Perasaan alienasi pada
diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa kelezatan.
4. Kegelapan yang dialami oleh
tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di kegelapan malam.
5. Terhalangnya ketaatan.
6. Maksiat memperpendek umur
dan menghapus keberkahannya.
7. Maksiat akan melahirkan
maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum kejahatan adalah kejahatan
lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan lagi.
8. Orang yang melakukan dosa
akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia merasa dirinya hina. Itu
pertanda-tanda kehancuran.
9. Kemaksiatan menyebabkan
kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan kejayaan.
10. Maksiat merusak akal,
sedang kebaikan membangun akal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak tercela yaitu akhlak yang
tidak dalam control ilahiyah atau berasal dari hawa nafsu yang berada dalam
lingkaran syaitaniyah dan dapat membawa suasana negative serta deskruktif bagi
kepentingan uamat manusia.
Adapun macam akhlak tercela
antara lain: Ujub, takabur, putus asa, berlebih-lebihan, iri hati, memfitnah,
mencuri, dan khianat.
Adapun
bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu adalah Terhalangnya
ilmu, Terhalangnya
rezeki, Perasaan
alienasi pada diri si pendosa, Terhalangnya
ketaatan,dll.
Daftar Rujukan
[1] Aminuddin, dkk, 2002, Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi UMM, Bogor: Ghalia Indonesia. hlm: 153
[2] Anonim.
http//www.hadirukkiyah’s blog akhlak tercela.htm
[3] Drs.Supardi, Aktif belajar aqidah akhalak untuk madrasah
aliyah kelas X, Klaten:
sinar maandiri, hlm: 52-54
[4] Drs. Yusuf Mukhtar, dkk. 1995. Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka.
hlm: 340
[6] Ibid, hlm: 49
[7] Drs. Masan Alfat, dkk. Aqidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah kelas 2. Semarang: Karya Toha
Putra. Hlm:170
[8] Ibid, hlm: 50
[9] Ibid, hlm: 54-56
[10] Ibid, hlm: 57-58
No comments:
Post a Comment