Selama ini proses belajar hanya bertumpu kepada
pendidik sebagai sumber utama, sehingga peserta didik kurang terlibat dalam
pembelajaran, karena peserta didik dikatakan belajar apabila mereka mampu
mengingat dan menghafal informasi atau pelajaran yang telah disampaikan.
Pembelajaran seperti ini tidak akan membuat peserta didik menjadi aktif,
mandiri dan mengembangkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman belajar yang
telah mereka lakukan. Sedangkan seiring kemajuan zaman dan teknologi,
dibutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan karakteristik yang baik.
Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki
adalah manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab
terhadap resiko dalam mengambil keputusan, dan mengembangkan segenap aspek
potensi melalui proses belajar untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri
sendiri.
Teori belajar konstruktivistik merupakan
pembelajaran yang menekankan pada proses dan lebih menghargai pada pemunculan
pertanyaan dan ide-ide peserta didik. Teori ini juga memandang kebebasan
sebagai penentu keberhasilan belajar. Pengetahuan menurut teori
konstruktivistik bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang
dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Sehingga dalam upaya membangun sumber daya
manusia di masa depan yang peka, mandiri, dan tanggung jawab serta memiliki
potensi yang tinggi bisa tercapai. Dengan kata lain, pendidikan ditantang untuk
memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki
karakteristik sesuai harapan.
B. Pengertian Teori Belajar Konstruktivistik
Pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman[1]. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Yang terpenting dalam teori konstruktivitik adalah
bahwa dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan penekanan.
Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukannya guru atau
orang lain. Peserta didik perlu di biasakan untuk memecahkan masalah dan memenemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide[2]. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan karena Kreativitas dan keaktifan
siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
C. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Pada bagian ini
akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek
si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1. Proses belajar konstruktivistik
Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan
kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari
luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui prosesnya asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya dari pada segi perolehan pangetahuan dari fakta-fakta yang
terlepas-lepas. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu
tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui
interaksi dalam jaringan sosial, yang unik yang terbentuk baik dalam budaya
kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan siswa dalam memperolah
gagasannya, buksn semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan
pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem
penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
2. Peran Siswa (Si-Belajar)
Menurut pandangan kontruktivistik, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia
harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi
makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus
mengambil prakarsa unntuk manata lingkungan yang memberi peluang optimal bagian
terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala
belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan
bahwa hakekatnya kendala belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Paradigma lonstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum
mempelajari sesuatu. Kemampuan
awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru.
Oeh karena itu meskipun kemamuan awal tersebut masih sangat sederhana atau
tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan.
3. Peranan Guru
Dalam belajar kostruksi guru atau pendidik berpean membantu agar proses
pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa untuk membentuk pengetahuaanya sendiri.
Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam
belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-sarunya cara yang tepat adalah
yang sama dan sesuai dengan kemampuannya.
Peranan guru dalam interaksi pendidikan adala pengendali, yang meliputi;
1) Menumbuhkan
kamandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan siswa.
3) Menyediakan
sistem dukungan yang memberikan kemudahan elajar agar siswa mempunyai peluang
optimal untuk latihan.
Sarana belajar. Pendekatan
konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dala kegiatan belajar adalah
aktiitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya.
4. Sarana belajar
Pendekatan
ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas
siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan,
media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut. Siwa di beri
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikiranya tentang sesuatu yang di
hadapinya[3]. Untuk menyampaikan pengalaman yaitu
menyajikan bahan kepada murid-murid yang sekiranya tidak mereka peroleh dari
pengalaman langsung. Ini dapat di lakukan dengan melalui film, TV, rekaman
suara, dan lain-lain. Hal ini merupakan pengganti pengalaman yang langsung[4].
5. Evaluasi
Pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman[5].
D. Perbandingan Pembelajaran Tradisional dan Pembelajaran Konstruktivistik
Proses pembelajaran akan efektif jika di ketahui
inti kegiatan belajar yang sesungguhnya. Pada bagian ini akan di bahas
ciri-ciri pembelajaran tradisional dan ciri-ciri pembelajaran konstruktifistik.
Kegiatan
pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behahioristik banyak di dominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran
melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon
sesuai materi yang di ceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak
menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi
buku teks. Di harapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru, atau
sama dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi di
antara siswa terhadap fenomena sosial yang komplek tidak di pertimbangkan.
Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan
cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Berbeda
dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktifistik membantu
siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Tranformasi terjadi
dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur
kognitif baru. Pendekatan konstruktifistik lebih luas dan sukar untuk di
fahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang di ungkapkan kembali atau apa
yang dapat di ulang oleh siswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan
cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang
dapat di hasilkan siswa, di demonstrasikan, dan di tunjukanya.
Secara
rinci perbedaaan karakteristik antara pembelajaran tradisional (behavioristik)
dan pembelajaran konstruktifistik adalah sebagai berikut[6].
Pembelajaran Tradisional
|
Pembelajaran Konstruktivistik
|
1.
Kurikulum
disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada
keterampilan-keterampilan dasar.
|
1.
Kurikulum
disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan
pada konsep-konsep yang lebih luas.
|
2. Pembelajaran
sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
|
2. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
|
3. Kegiatan kurikuler lebih
bannyak mengandalkan pada buku teks dan
buku kerja.
|
3. Kegiatan kurikuler lebih
banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
|
4. Siswa-siswa dipandang
sebagai “kertas kosong”, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik
dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
|
4. Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir
yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
|
5. Penilaian
hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari
pembelajaran, dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
|
5. Pengukuran proses dan hasil belajar
terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, guru mengamati hal-hal yang
sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
|
6. Siswa
biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
|
6. Siswa-siswa
banyak belajar dan bekerja di dalam group process.
|
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan
pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting
dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1.
Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu
pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan
teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2.
Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian
rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan
belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan
melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk
mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari
kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3.
Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan
sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa
untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4.
Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi
dan mengatur kegiatan belajarnya.
5.
Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga
mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa
melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana
siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang
pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn,
tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan
terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun.
Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami
makna ketimbang konsep[7].
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut:
(1) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
(5) mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif[8].
E. Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
Dalam suatu proses
pembelajaran pasti di pengaruhi oleh situasi dan kondisi yang mendukung, begitu
juga degan teori ini juga mempunyai kekurangan dan kelebihan, yaitu:
1. Kelebihan
- Berfikir: dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan.
- Faham : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengaplikasikannya dalam kehidupan.
- Ingat : Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
- Kemahiran sosial: Kemahiran sosial diperoleh apabila siswa berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan baru.
- Semangat : Oleh kerena mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat, maka mereka akan timbul semangat belajar dalam membina pengetahuan baru.
2. Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini bisa kita lihat
dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang
begitu mendukung[9].
F. Kesimpulan
Pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman.
Proses belajar jika dipandang dari
pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh
siswa kepada pengalamannya melalui prosesnya asimilasi dan akomodasi yang
bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya.
Kegiatan
pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behahioristik banyak di dominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran
melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon
sesuai materi yang di ceramahkan.Pembelajaran konstruktifistik membantu siswa
menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Tranformasi terjadi
dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur
kognitif baru.
Kelebihan
teori konstruktivistik adalah berfikir, faham, ingat, kemahiran sosial
semangat. Dan kekuranganya adalah dalam proses belajarnya dimana peran
guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
Dartar Rujukan
[1] Nadia, 2009, Teori
Konstruktivistik, dalam: http://duadania.blogspot.com/2009/05/teori-konstruktivistik.html, di akses pada 26
oktober 2011.
[2] Suwarna, M.Pd.,dkk, 2005, Pengajaran Mikro, Pendekatan Praktis Dalam Menyiapkan Pendidik
Profesional, Yokyakarta: Tiara Wacana, hlm 120
[3] Dr. C. Asri Budiningsih, 2005, Belajar dan
Pembelajaran, cet ke-1, Jakarta: Rineka Cipta, hlm 58-60
[4] Prof. Dr. Nasution, M.A., 2006, Berbagai
Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, cet ke-10, Jakarta: PT Bumi Aksara.hlm.15
[5] Dr. C. Asri Budiningsih,
2005, hlm 60-61
[6] Ibid, hlm 62-64.
[7] Tya Pranita, Teori Konstruktivisme, dalam: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/06/teori-konstruktivisme/, di akses pada 26 oktober 2011.
[8] Ibid.
No comments:
Post a Comment