Sunday, May 27, 2012

Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif

Dari “Tabel” Menuju Makna
Dalam tradisi penelitian kuantitatif, data di kumpulkan dengan menggunakan metode atau teknik tertentu, misalnya dengan menggunakan angket. Angket tersebut di sebarkan kepada responden untuk dimintai jawaban mereka. Setelah angket itu terkumpul, biasanya dilakukan dengan proses editing, koding dan tabulasi. Dari hasil tabulasi tersebut antara lain bisa disajikan bentuk tabel.
Di tabel itulah tercermin berbagai gambaran tentang para responden yang diteliti, katakanlah tentang tingkat pendidikan mereka, pekerjaan mereka, besar penghasilan mereka, besar tanggungan serta biaya hidup mereka, dan sebagainya. Gambaran yang tertuang dalam tabel tersebut merupakan cerminan dari keadaan nyata yang terbesar di tengah masyarakat. Ia merupakan hasil “meringkas” kenyataan para responden yang terbesar di masyarakat.

Tabel yang merupakan hasil “meringkas” tersebut, selanjutnya perlu di tafsirkan. Perlu dicarikan makna yang  dari angka-angka yang tercantum dalam tabel tersebut. Perlu ditarik sejumlah kesimpulan berdasarkan angka-angka yang tertuang dalam tabel yang bersangkutan. Tafsiran, pemaknaan, atau kesimpulan-kesimpulan di maksud tentu saja harus sesuai dengan “apa katanya” data dalam tabel itu sendiri.

Pola yang bergerak dari sebaran kenyataan lapangan ke tabel, dan berdasarkan tabel kemudian di tafsirkan, dimaknakan, dan di simpulkan sesunggunhnya juga berlangsung demikian di dalam penelitian kualitatif. Bedanya, dalam penelitian kualitatif “tabel” tersebut dianggap “tercantum” dalam kenyataan sehari-hari di masyarakat, bukan tercantum di atas kertas. Berbagai rupa kejadian, peristiwa, keadaan, tindakan yang tersebar di masyarakat merupakan “tabel-tabel” kongkret yang menunggu untuk di tafsirkan bagaimana makna di balik berbagai rupa “tabel” dimaksud. Jadi, kenyataan sehari-hari di masyarakat itulah yang di pandang sebagai “tabel” dalam tradisi penelitian kualitatif. Dan “tabel-tabel” semacam itulah yang perlu di buru bagaimana maknanya masing-masing guna menemukan apa yang tersembunyi di balik “tabel-tabel” tersebut.

Kebiasaan para pejabat sowan ke kyai, misalnya, itu jelas-jelas “tabel hidup” yang rasanya menarik dan bahkan merangsang untuk dipahami ada makna ada apa dibalik sowan-sowanan tersebut. Siapa tahu maknanya bermacam-macam, baik bagi masing-masing pejabat yang melakukan praktik sowan maupun bagi para kyai yang sehari-hari disowani. Tak terhinggan jumlah “tabel hidup” semacam itu yang menantang di kaji secara mendalam melalui penelitian kualitatif. Dunia sehari-hari memang penuh dengan hamparan “tabel hidup” dan itu bisa teramati dari waktu ke waktu.

Kerenanya, kegiatan dan penggunaan metode observasi menjadi amat penting dalam tradisi penelitian kualitatif. Melalui observasi itulah di kenali berbagai rupa kejadian, peristiwa, keadaan, tindakan yang mempola dari hari ke hari di tengah masyarakat. Dari situlah di kenali mana yang sangat lazim atau umum terjadi, bagi siapa, kapan, dimana, dan sebagainya. Juga, mana yang jarang atau kadang-kadang saja terjadi, berlaku bagi siapa, bilamana dan dimana itu terjadi, dan sebagainya. Pokoknya, berbagai rupa pola, regularitas, atau apapun namanya merupakan sasaran dari kegiatan observasi sehingga bisa dikendalikan “tabel” atau “peta” macam apa yang tersedia di arena kehidupan nyata sehari-hari.

Kegiatan observasi tersebut tidak hanya di lakukan terhadap kenyataan-kenyataan yang terlihat, tetapi juga yang terhadap yang terdengar. Berbagai macam ungkapan atau pertanyaan yang terlontar dalam percakapan sehari-hari juaga termasuk bagian dari kenyataan yang bisa di observasi, observasinya melalui indera pendengaran. Malah sejumlah suasana yang terasakan (tertangkap oleh indera perasaan), seperti rasa tercekam, rasa suka ria, dan semacamnya juga termasuk bagian dari kenyataan yang dapat di observasi. Apa yang telihat, terdengar, atau terasakan itu, kesemuanya di pandang sebagai suatu hamparan kenyataan yang mungkin saja bisa di angkat sebagai “tabel hidup”.

Setelah “tabel” kenyataan sehari-hari diperoleh, tentu saja perlu ditindak lanjuti untuk memahami makna apa yang tersembunyi dibalik “tabel” di maksud. Memburu makna di “tabel” tersebut merupakan inti kegiatan yang sangat menjadi kepedulian dalam tradisi penelitian kualitatif. Sebab, tujuan akhir suatu kegiatan penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena sosial yang tengah di teliti. Kata kuncinya adalah memahami (understanding).

Istilah memahami tersebut termasuk idiom khusus dalam Penelitian kualitatif. Idiom tersebut merupakan padanan dari istilah “menjelaskan” (explanation) dalam penelitian kuantitatif. Pada tradisi penelitian kualitatif, secara sengaja menggunakan istilah memahami (bukan menjelaskan), karena yang diburu bukanlah “faktor penyebab” atau “kualitas” dari suatu fenomena melainkan alasan-alasan maknawi (reasons) dari para pelaku sesuatu tindakan atau praktik sosial itu sendiri. Dengan begitu, menjadi wajar bila fokiusnya tertuju kepada upaya pemahaman. Karenanya, Geertz mengistilahkanya dengan upaya understanding of understanding. Yaitu upaya untuk memahami suatu fenomena sosial sesuai dengan dunia pemahaman para pelakunya itu sendiri.

Untuk mencapai tingkat pemahaman sedemikian itu tentunya memerlukan cara penggalian data yang handal. Disinilah letak relevansi metode atau teknik wawancara mendalam ( in depth interview). Dengan wawancara mendalam, bisa di gali apa yang tersembunyi di sanubari seseorang, apakah yang menyangkut masa lampau, masa kini, maupun masa depan. Wawancara terstruktur sebagaimana yang lazim dalam tradisi survei menjadi kurang memadai. Yang diperlukan adalah wawancara tak berstruktur yang bisa secara leluasa melacak ke berbagai segi dan arah guna mendapatkan informasi yang selengkap mungkin dan semendalam mungkin. Dengan begitu, upaya understanding of understanding bisa terpenuhi secara memadai. Sesuai dengan itu, peneliti perlu memerankan diri selaku instrumen utama. Bukan menguntungkan diri pada instrumen pengumpulan data semacam pedoman wawancara, panduan observasi, atau instrumen sejenis lainya.

Oleh sebab itu, wawancara mendalam dan kegiatan observasi di maksudkan untuk memburu ”tabel hidup” yang terhampar dalam kenyataan sehari-hari di masyarakat. Sedangkan wawancara mendalam dimaksudkan untuk memburu makna yang tersembunyi dibalik “tabel hidup” dimaksud sehingga sesuatu fenomena sosial menjadi bisa dipahami.

Simultan dan Bolak Balik
Pada penelitian konvensional yang menggunakan pendekatan penelitian kuantutatif, prosesnya berlangsung linier. Bermula dari perimusan masalah, kemudian perumusan hipotesis (bagi studi eksplanatori), penyusunan alat pengukura (instrumen pengumpulan data), selanjudnya kegiatan pengumpulan data, baru kemudian dilakukan analisis data, dan akhirnya penulisan laporan penelitian. Itulah tahap-tahap yang mau tidak mau harus dilakukan secara berurutan dalam pelaksanaan penelitian kuantitatif. Sebab, tahap kedua tak mungkin dilakukan tanpa tahap pertama terselesaikan. Tahap ketiga tak mungkin dilakukan tanpa tahap sebelumnya terselesaikan. Tahap ke empat tak mungkin dilakukan, tanpa tahap ketiga terselesaikan. Tahap kelima tak mungkin dilakukan tanpa tahap ke empat terselesaikan. Dan, tahap keenam tak mungkin dilakukan tanpa tahap kelima terselesaikan.

Proses demikian itu amat wajar, karena penelitian kuantitatif menggunakan logika deduktif verifikatif. Level konseptual-teotirikal perlu tegas terlebih dahulu, baru bisa beranjak ke upaya menjembatani kesenjangan antara level konnseptual-teoritikal dan level empirikal, yaitu dengan variabel, membuat alat [engukuran variabel-variabel, termasuk merumuskan hipotetis yang bisa diuji berdasarkan ukuran-ukuran empiris (bagi penelitian eksplanatori). Berikutnya diikuti olrh kegiatan pengukuran melalui proses pengumoulan data, dan akhirnya dianalisis serta disimpulkan hasilnya,

Dalam penelitian kualitatif tak menggunakan logika deduktif verifikatif semacam itu. Yang digunakan dalam pelitian kualitatif adalah logika induktif abstraktif. Suatu logika yang bertitik tolak dari “khusus ke umum”; bukan dari “umum ke khusus” sebagaimana dalam logika deduktif verifikatif. Konseptualisasi, kategori, dan deskripsi di kembangkan atas dasar “kejadian” (incidence) yang diperoleh ketika kegiatan lapangan berlangsung. Teoritisasi yang diperlihatkan bagaimana hubungan antarkategori (atau hubungan antarvariabel dalam terminologi penelitian kuantitatif) juga dikembangkan atas dasar data yang diperoleh ketika kegiatan lapangan berlangsung. Karenanya, antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data menjadi tak mungkin dipisahkan satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan atau berlangsung serempak. Prosesnya berbentuk siklus, bukan linier. Huberman dan Miles melukiskan siklusnya seperti terlihat pada gambar berikut ini.

 
Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif

Gambar tersebut memperlihatkan sifat interaktif koleksi data atau pengumpulan data dengan  analisis data. Malah, pengumpulan data itu sendiri juga ditempatkan sebagai komponen yang merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data. Yang disebutkan terakhir itu bisa dimengerti, karena saat mengumpulkan data, peneliti akan dengan sendirinya terlibat melakukan perbandingan-perbandingan, apakah untuk memperkaya data bagi tujuan konseptualisasi, kategorisasi, ataukah teoritisasi. Tanpa secara aktif melakukan perbandinga-perbandingan dalam proses pengumpulan data tak akan mungkin terjelajah dan terlacak secara induktif hingga ke tingkat memadai muatan-muatan yang tercakup dalam satu konsep, kategori, atau teori.

Hasil pengumpulan data tersebut tentu saja perlu direduksi (data reduction). Istilah reduksi data dalam penelitian kualitatif dapat disejajarkan maknanya dengan istilah [enge lolaan data (mulai dari editing, koding, hingga tabulasi data) dala pelitian kuantitatif. Ia mencakup kegiatan mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin, dan memilah-milahkannya ke dalam satuan konsep tertentu, kategori tertentu, atau tema tertentu.

Seperangkat hasil reduksi data juga perlu diorganisasikan ke dalam suatu bentuk tertentu (display data) sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Itu mirip semacam pembuatan tabel atau diagram dalam tradisi penelitian kuantitatif. Ia bisa berbentuk sketsa, sinopis, matriks, atau bentuk-bentuk lain; itu sangat diperlukan untuk memudahkan upuya pemaparan dan penegasan kesimpulan (conclution drawing and verification).

Sesuai dengan gambar siklus analisis data yang disebutkan di muka tadi, prosesnya tidaklah “sekali jadi”, melainkan berinteraktif, secara bolak balik. Perkembangannya bersifat sekuensial dan interaktif, yang pada dasarnya melingkar seperti pada gambar berikut ini.

 
Peraturan dari Pengumpulan Data Menuju Deskripsi dan Teori

Seberapa banyak proses bolak balik tersebut tentu saja sangat bergantung pada kompleksitas permasalahan yang hendak dijawab. Juga, banyak bergantung pada seberapa “tajam pisau analisis” yang di pakai saat mengumpulkan data itu sendiri. Pisau yang dimaksud adalah kepekaan dan ketajaman daya lacak si peneliti itu sendiri di dalam melakukan komparasi ketika proses pengumpulan data.

Senjata Komparasi
Glaser dan Strauss (1967) memunculkan konsep komparasi secara konstan (Constan Comparative Analysis), yang oleh mereka di maknakan sebagai suatu prosedur komparasi untuk mencermati padu tidaknya data dengan konsep-konsep yang dikembangkan untuk merepresentasikanya, padu tidaknya data dengan kategori-kategori yang di kembangkan, padu tidaknya generalisasi atau teori dengan data yang tersedia, serta padu tidaknya keseluruhan temuan penelitian itu sendiri dengan kenyataan lapangan yang tersedia. Dengan demikian, konsep komparasi secara konstan tersebut lebih di tempatkan sebagai prosedur mencermati hasil reduksi data atau pengolahan data guna memantapkan keterandalan bangunan konsep, kategori, generalisasi atau teori beserta keseluruhan temuan penelitian itu sendiri sehingga benar-benar padu (match) dengan data maupun dengan kenyataan lapangan.

Berikutnya, oleh Strauss dan Corbin (1990), konsep komparasi secara konstan itu lebih ditempatkan sebagai suatu “senjata” yang perlu diterapkan dalam proses pengumpulan dan analisis data. Berarti, juga perlu diterapkan dalam proses pengumpulan data itu sendiri. Hal tersebut agaknya lebih masuk akal, karena dalam praktek penelitian kualitatif, kegiatan pengumpulan dan analisis data dapat dikatakan bersenyawa, berlangsung serempak, merupakan suatu kesatuan kegiatan yang tak bisa dipisahkan. Karenanya, pemikiran dan “senjata” komparasi secara konstan tersebut perlu melekat dalam diri peneliti kualitatif selaku instumen utama suatu penelitian, dan digunakansecara nyata dalam sepanjang proses pengumpulan dan analisis data.  

Pada kegiatan pengumpulan data, dalam melaksanakan kegiatan observasi maupun wawancara mendalam, para peneliti kualitatif sangat dituntut ubtuk menjelajahi dan melacak sememadai nungkin realitas fenomena yang tengah distudi. Pada kegiatan observasi untuk menemukan “tabel hidup”, diperlukan proses penjelajahan guna mengenali berbagai rupa regularitas dengan segenap variasinya. Sedangkan pada kegiatan wawancara mendalam untuk menemukan makna dibalik suatu “tabel hidup”, diperlukan proses pelacakan (probing) guna memperkaya dan memperdalam berbagai muatan makna yang terkait dengan suatu “tabel hidup” yang hendak dipahami.

Untuk mencapai tujuan penjelajah maupun tujuan pelacakan tersebut, senjata utamanya adalah kejelian dan kemampuan menerapkan prosedur komparasi. Yaitu kejelian dan kemampuan dalam melakukan perbandingan-perbandingan di sepanjang proses pengumpulan dan analisis data. Perbandingan tersebut bisa antar tindakan, antar pelaku tindakan, antar ruang, antar waktu, antar kejadian, dan sebagainya. Itu ditempatkan di dalam kerangka enelusuran unformasi atau data sehingga deskripsi mengenai sesuatu tidak hanya menjadi kian kaya muatanya, tetapi juga menjadi kian jelas batas cakupanya. Dalam kerangka itu, amat diperlukan kemampuan berpikir deduktif maupun induktif, berpikir divergergen maupun konvergen sehingga mampu melakukan elaborasi, mampu mengintegrasikan sesuatu yang berserakan, mampu beranjak dari tataran kongret ke tataran abstrak dan begitu sebaliknya, serta mampu menganalis dan mensintesis.

Prosedur komparasi tersebut bisa dikatakan semacam senjata untuk menggulirkan proses pengumpulan dan analisis data sehingga proses tersebut bisa berkembang laksana bola salju, yang produknya kian lama kian “membesar” di dalam arti semakin kaya dan padat. Hal tersebut juga bisa berakibat pada soal sampling, yaitu juga perlu berkembang laksana bola salju (memnbengkak sesuai tuntutan informasi yang diperlukan). Dengan begitu, kegiatan pengumpulan data (memburu data baru) akan bergerak sesuai dengan tuntutan perkembangan dari data yang diperoleh sebelumnya. Itu merupakan akibat takterletakkan bila senjata komparasi benar-benar di terapkan dalam proses pengumpulan dan analisis data.

Untuk sekedar ilustrasi, katakanlah hendak menjelajahi dan melacak kenakalan para siswa di suatu sekolah. Saat observasi awal misalnya terdengar berbagai komentar guru tentang kenakalan para siswa didalam menaati tata tertib disekolah. Dari komentar tersebut, di benak peneliti mungkin akan muncul serangkaian pertanyaan, misalnya: Apakah semua siswa tergolong nakal (suka melanggar) tata tertib sekolah? Kalau tidak, lalu yang nakal itu siswa yang mana saja? Mengapa mereka nakal, sementara siswa lainya tidak? Apakah keseluruhan tata tertib sekolah mereka langgar? Kalau tidak, aturan-aturan mana saja yang mereka langgar? Mengapa aturan-aturan tertentu mereka langgar, sementara aturan lainya tidak? Keseluruhan merekalah melanggar aturan-aturan dimaksud? Kalau tidak, siswa mana melanggar aturan yang mana? Mengapa begitu? Selama menjadi siswakah mereka itu melanggar aturan-aturan dimaksud? Kalu tidak, lalu sejak kapan, dan mengapa demikian?.

Itu sekedar contoh dari pertanyaan-pertanyaan awal yang munkin muncul dibenak peneliti. Semakin lama kegiatan penjelajahan dan pelacakan berlangsung tentunya semakin banyak data beserta kategori-kategori yang diperoleh sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi. Berbagai hasil penjelajahan dan pelacakan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tadi, bisa dipastikan akanmengundang munculnya pertanyaan-pertanyaan baru yang juga menghajatkan penelusuran lebih lanjut, dan begitu seterusnya hingga sampai titik jenuh (saturation). Yaitu hingga ke suatu titik dimana tak muncul lagi informasi yang diperlukan untuk mendeskripsikan dan “menjelaskan” fenomena sosial yang tengah diteliti.

Dengan menggunakan prosedur komparasi, proses penjelajahan dan pelacakan akan berlangsung laksana kegiatan detektif profesional: jeli dan cermat cemburu berbagai rupa informasi yang relevan, cerdik dalam membanding- bandingkan dan menghubung- hubungkan berbagai informasi sehingga dari waktu ke waktu kian terugkap gambaran utuh dan rinci dari kasus yang ditangani pembongkarannya. Prosedur komparasi tersebut merupakan senjata utama dan dengan sendirinya perlu tajam daya jelajah dan daya lacaknya di dalam proses pengumpulan dan analisis data. Untuk melatih ketajaman dimaksud, di benak peneliti perlu terbiasa memunculkan rangkaian kata tanya (apa, siapa, bagaimana, di mana, kapan, mengapa) sebagaimana yang lazim diajukan para wartawan ketika mereka memburu betira tentang sesuatu peristiwa. Yang terlebih penting lagi adalah mempraktikkannya dari penelitian yang satu ke penelitian-penelitian selanjutnya kian tajam dalam penerapannya dari waktu ke waktu.

Mempedulikan Kasus Negatif
Kasus negatif (negative case) adalah kasus yang sifatnya menyanggah. Ia bisa menyanggah kandungan makna dari konsep, kategori, atau teori yang tengah atau telah dikembangkan dalam suatu penelitian. Makna dari kasus negatif tersebut relatif serupa dengan konsep serta logika hipotesis nol di penelitian kuantitatif.

Pada penelitian yang bersifat eksplanatori dan menggunakan logika deduktikohipotetikoverifikatif, benar atau salah suatu hipotesis penelitian, diterima ataukah ditolak sesuai penelitian memerlukan pengujian secara statistik. Dalam hubungan itu, alat utamanya adalah pengujian hipotesis nol atau pengujian hipotesis statistik. Dalam hipotesis statistik tersebut, terkandung asusi akan adanya sifat beraturan keslahan sapel. Artinya, pada setiap sampel (yang dipilih secara acak), niscaya terjadi kesalahan (error), dimana statistik sample yang diambil itu akan senantiasa berbeda dengan parameter populasi dari mana sampel tersebut berasal. Andaikan suatu populasi di ambil empat atau lima set sampel, maka data keempat atau kelima set sampel tadi akan menghasilkan bilangan-bilangan statistik yang tidak sama, akan tetapi satu sama lain juga tidak jauh berbeda. Itu menunjukkan terjadinya kesalahan atau perbedaan antara statistik sampel dengan parameter populasi. Karenanya, untuka ddapat menerima hipotesis penelitian (hipotesis satu) harus secara signifikan bisa menolak hipotesis statistik (hipotesis nol).

Pada hipotesis nol atau hipotesis statistik, memperhitungkan adanya titik kritis tertentu akibat probabilitas kesalahan sampling, sehingga secara statistik, data ststistik/sampel belum menunjukkan suatu perbedaan apapun (belum signifikan menolak hipotesis nol) apabila bersar perbedaanya belum melampaui (setidak-tidaknya sama, atau lebih besar dari) titik kritis perbedaan yang dimungkinkan karena faktor kesalahan sampling. Jadi, untuk bisa menerima atau membenarkan hipotesis penelitian, harus teruji dulu apakah hipotesis nol (hipotesis statistik) bisa di tolak atau tidak. Hipotesis nol bisa diibaratkan laksana seorang dosen menguji skripsi yang membentak mahasiswa teruji dengan menyatakan: “Kamu jangan seenaknya berkesimpulan bahwa hipotesis penelitian kamu itu bisa diterima. Kamu belum memperhitungkan faktor kemungkinan terjadinya kesalhan sampling, padahal setiap sampel pasti tidak 100 persen mencerminkan populasi; pasti ada kesalahan dalam penarikan sampel. Yang telah memperhitungkan faktor “langkahi” saya dulu baru kamu bisa diterima. Jangan berkesimpulan tergesa-gesa seperti itu”.

Kurang lebih seperti itulah makna dan logika dari hipotesi nol. Dalam penelitian kualitatif, logika semacam hipotesis nol tersebut tertampung dalam ide dan konsep kasus negatif. Disini, peneliti kualitatif diserukan untuk tak tergesa-gesa dalam mengambil suatu kesimpulan, apakah berkenaan dengan konsep, katergori, ataukah teori. Sebelum sampai pada kesimpulan, sebaiknya mempertimbangkan dulu kasusu-kasus negatif yang mungkin terdapat di lingkungan tempat penelitian.

Perjalanan penelitian disertasi saya merupakan salah satu contoh betapa pentingnya mempertimbangkan kasusu-kasus penyanggah dalam proses pengumpulan dan analisis data di suatu penelitian kualitatif. Teori yang saya temukan tentang sumber heterogenitas budaya kerja petani akan lain lain sama sekali andaikan tak mempertimbangkan kasus-kasus negatif yang bersifat menyanggah. Sebab, arus utama (main stream) di tempat penelitian secara jelas mengisaratknan bahwa perbedaan bidaya kerja petani berhubungan erat dengan latar belakang posisi ekonomi budaya kerja yang diwariskan orang tua mereka masing-masing.

Andaikan hanya mendasarkan diri pada arus utama tersebut, teori yang saya temukan akan jelas menyatakan bahwa perbedaan budaya kerja petani bersumber dari perbedaan posisi ekonami dan tempaan budaya kerja yang diwariskan orang tua dalam lingkungan keluarga. Kesimpulan tersebut memang sesuai dengan gejala umum di lingkungan peteni setempat. Tetapi, setelah di telusuri, ternyata terdapat berbagai rupa kasus negatif yang menyanggah. Terdapat petani-petani yang budaya kerja yang diwariskan orang tua mereka. Dan, setelah diteliti secara mendalam, baik peteni yang tergolong kasus negatif maupun petani yang tergolong arus utama, ternyata memunculkan jawaban lain yang sama sekali berbeda dengan dugaan semula. Ternyata ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar ekonomi dan tempaan keluarga yang bisa menjelaskan mengapa para petani setempat berbeda-beda budaya kerjanya. Yaitu bersangkut paut dengan tinggi/rendah tantangan sosial yang di rasakan atas citra diri tersebut (lihat: “Pengalaman Diri Sendiri” pada makalah Penelitian Teori Grounded).

Memperdulikan kasus-kasus negatif juga seiring dengan tuntutan komparasi secara konstan yang telah dipaparkan dimuka. Oleh sebab itu, “model uji hipotesis nol” alat penelitian kualitatif, yaitu uji kasus negatif, agaknya perlu dijadikan bagian integral dari proses pengumpulan dan analisis data bagi siapapun yang melakukan penelitian kualitatif.

Soal-soal Lain
Pertama, kegiatan pengumpulan data juga terbuka kemungkinan menggunakan teknik-teknik lain, selain observasi dan wawancara mendalam yang telah disebutkan dibagian muka. Misalnya memanfaatkan dokumen (documents) dan rekaman (records) yang tersedia, melakukan focus group atau wawancara kelompok, dan teknik-teknik lain yang dipandang relevan digunakan pada suatu penelitian.

Kedua, pencatatan hasil pengumpulan data, reduksi data, dan pengorganisasian data ke dalam bentuk diagram, matriks, atau bentuk-bentuk lain perlu dilakukan secara cermat, lengkap, dan teratur sesuai perkembangan data yang diperoleh. Menuangkannya bisa dalam suatu buku, kertas lepas, atau kartu-kartu. Itu lebih merupakan masalah “taktik” yang sepenuhnya bergantung pada kesukaan peneliti. Yang penting adalah adanya kerangka kerja (scheme work) di benak peneliti beserta sistem penataanya yang jelas sehingga memudahkan ke mana suatu data harus “di simpan” dan gampang bila hendak ditelusuri dari waktu ke waktu.

Ketiga, penulisan draf laporan penelitian sebaiknya diselesaikan sewaktu masih berada di lapangan sehingga berbagai data yang disarankan kurang (saat penulisan draf laporan) bisa segera dipenuhi. Setelah meninggalkan lapangan, draf tersebut dapat lebih di sempurnakan lagi sehingga menjadi suatu laporan akhir yang utuh.

Keempat, pembaca pertama laporan penelitian hendaknya orang, kelompok, atau masyarakat yang dijadikan sasaran penelitian itu sendiri. Lebih dari itu, mereka juga perlu dimintai penilaianya teerhadap isi laporan penelitian tersebut sehingga sekaligus menjadi media menber check utuk memantapkan standar kredibilitas hasil/emuan penelitian.

Sumber: Burhan Bungin. 2005. Analisis Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Grafindo Persada.


Bacaan yang Mungkin Terkait:

No comments:

Post a Comment

free counters