Saturday, June 2, 2012

Aliran Teori Humanistik

Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak, yamg paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses dalam bentuknya paling yang paling ideal. Dengan  kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada  belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita  amati dalam dunia keseharian. Wajar teori ini sangat bersifat elektrik. Teori apapundapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagaimana itu) dapat tercapai.

Dalam praktik , teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang di usulkan oleh Ausul (1968) yang di sebut “belajar  bermakna” atau Meaningful Learning. (Sebagai catatan, teori Ausubel  ini juga dimasukkan ke dala aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam  teori Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori  ini adalah  Kolb, Honey dan Mumford, serta Hamerbes, yang masing-masing pendapatannya akan dibahas berikut ini.
1.    Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut.
a.    Kognitif
Kognitif terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
1)   Pengetahuan (mengingat, menghafal);
2)   Pemahaman (menginterpretasikan);
3)   Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah);
4)   Analisis (menjabarkan suatu konsep);
5)   Sintetsis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
6)   Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).

b.   Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1)   Peniruan (menirukan gerak);
2)   Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak);
3)   Ketepatan (melakukan gerak dengan benar);
4)   Perangkaian |(melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5)   Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).

c.    Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1)   Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);
2)   Merespon (aktif berpartisipasi);
3)   Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
4)   Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercaya);
5)   Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).

Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah diketahui, berhasil memberi inspirasi kepasa banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan utuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang nudah di pahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yag paling populer (setidaknya di Indonesia)

Selain itu, teoroi Bloom banyak juga di jadikan membuat butir-butir soal ujian,bahkan bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam klafikasi taksonominya pada aspek kognitif Bloom mengemukakan enam tingkatan kemampuan yang meliputi (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4) analisis, (5)sintesis, dan (6) evaluasi. Melalui pakar pendidikan yang  terdiri dari Peter W. Airasian, Kathleen A. Cruikshank, Richard E. Mayer, Paur E. Pitrich, James Raths, dan Merlin C. Wittrock dengan editor Orin W. Anderson dan David R. Krathwohl dalam buku yang berjudul A Taksonomi for Learning, Teaching, and Assesing yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kognitif tersebut dengan memilah dua dimensi, yakni (1) dimensi pengetahuan, (2) dimensi proses kognitif.

Dalam dimensi pengetahuan yang didalamnya memuat objek ilmu yang disusun dari (1) pengetahuan fakta, (2) pengetahuan konsep, (3)pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan meta kognitif. Sedangkan dalam dimensi proses kognitif di dalamnya memuat enam tingkatan yang meliputi (1) mengingat, (2) mengerti, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) mencipta.

2.    Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu
a.    Pengalaman kongkret;
b.    Pengematan aktif dan reflektif;
c.    Konseptualisasi;
d.   Eksperimentasi aktif.

Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif.

Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian utuh yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.

Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturn umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Menurut Kolb, siklus belajar semacam iyu terjadi scar berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan datah lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan berealihnya.

3.    Honey dan Mumford
Berdasarkan teori kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni:
(1) aktivis
(2) reflektor
(3) teoris
(4) prakmatis

Ciri siswa yang bersifat aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuak dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadangkala identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstroming atau problem solving. Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.

Untuk siswa yang bersifat reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa ini cnderung “konservatif”, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk sutu keputusan. Sedangkan siswa yang bersifat teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis,dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang bersifat subjektif. Bagi mereka, berpikir secar arasional adalahsesuatu yang sngat penting. Mereka juga biasa sangat skeptis dan tidak meyukai hal-hal yang bersifat sprkulatif.  Untuk siswa tipe pragmatif menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, kata mereka. Namun , apabila teori tiddak bisa dipraktekkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoretis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan hanya jika bisa dipraktikkan.

4.    Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sngat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagia, yaitu
1.    Belajar teknis (technical learning);
2.    Belajar praktis (practical learning);
3.    Belajar emansipatoris (emancipatory learning).

Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaiman berinteraksi denagn alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan car mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.

Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhasap alam berhenti pada suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya denga manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam ini justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia.

Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mugkin tentang perubahan (tranformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang oaling tinggi, sebab transformasi kultural ini yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.

Bacaan yang Mungkin Terkait:

No comments:

Post a Comment

free counters