Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan
bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistik
inilah yang paling abstrak, yamg paling mendekati dunia filsafat daripada dunia
pendidikan. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi”
dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang
pendidikan dan proses dalam bentuknya paling yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang
biasa kita amati dalam dunia keseharian.
Wajar teori ini sangat bersifat elektrik. Teori apapundapat dimanfaatkan asal
tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagaimana
itu) dapat tercapai.
Dalam praktik , teori ini antara lain terwujud dalam
pendekatan yang di usulkan oleh Ausul (1968) yang di sebut “belajar bermakna” atau Meaningful Learning. (Sebagai
catatan, teori Ausubel ini juga dimasukkan
ke dala aliran kognitif). Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom. Selain itu, empat pakar lain
yang juga termasuk ke dalam kubu teori
ini adalah Kolb, Honey dan
Mumford, serta Hamerbes, yang masing-masing pendapatannya akan dibahas berikut
ini.
1. Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai
(dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut.
a. Kognitif
Kognitif terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
1)
Pengetahuan (mengingat, menghafal);
2)
Pemahaman (menginterpretasikan);
3)
Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu
masalah);
4)
Analisis (menjabarkan suatu konsep);
5)
Sintetsis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi
suatu konsep utuh);
6)
Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
b. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1) Peniruan (menirukan gerak);
2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan
gerak);
3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar);
4) Perangkaian |(melakukan beberapa gerakan
sekaligus dengan benar)
5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
c. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1)
Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);
2)
Merespon (aktif berpartisipasi);
3)
Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada
nilai-nilai tertentu);
4)
Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang
dipercaya);
5)
Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari
pola hidup).
Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah diketahui, berhasil memberi
inspirasi kepasa banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan
pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak
membantu praktisi pendidikan utuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam
bahasa yang nudah di pahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa
taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yag paling populer
(setidaknya di Indonesia)
Selain itu, teoroi Bloom banyak juga di jadikan membuat butir-butir soal
ujian,bahkan bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut.
Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki
oleh pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam
klafikasi taksonominya pada aspek kognitif Bloom mengemukakan enam tingkatan
kemampuan yang meliputi (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) penerapan, (4)
analisis, (5)sintesis, dan (6) evaluasi. Melalui pakar pendidikan yang terdiri dari Peter W. Airasian, Kathleen A.
Cruikshank, Richard E. Mayer, Paur E. Pitrich, James Raths, dan Merlin C.
Wittrock dengan editor Orin W. Anderson dan David R. Krathwohl dalam buku yang
berjudul A Taksonomi for Learning, Teaching, and Assesing yang
diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampuan kognitif tersebut
dengan memilah dua dimensi, yakni (1) dimensi pengetahuan, (2) dimensi proses
kognitif.
Dalam dimensi pengetahuan yang didalamnya memuat objek ilmu yang disusun
dari (1) pengetahuan fakta, (2) pengetahuan konsep, (3)pengetahuan prosedural,
dan (4) pengetahuan meta kognitif. Sedangkan dalam dimensi proses kognitif di
dalamnya memuat enam tingkatan yang meliputi (1) mengingat, (2) mengerti, (3)
menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6) mencipta.
2. Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang membagi tahapan belajar menjadi empat
tahap, yaitu
a. Pengalaman kongkret;
b. Pengematan aktif dan reflektif;
c. Konseptualisasi;
d. Eksperimentasi aktif.
Pada tahap
paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut
mengalami suatu kejadian. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama
proses belajar.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi
aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar siswa mulai belajar untuk membuat
abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap
ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum
(generalisasi) dari berbagai contoh kejadian utuh yang meskipun tampak berbeda-beda,
tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan
suatu aturn umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa
tidak hanya memahami “asal usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai
rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui
sebelumnya.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam iyu terjadi scar berkesinambungan dan
berlangsung di luar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya
kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan datah lainnya, namun
dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi
begitu saja, sulit kita tentukan kapan berealihnya.
3. Honey dan Mumford
Berdasarkan teori kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa.
Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni:
(1) aktivis
(2) reflektor
(3) teoris
(4) prakmatis
Ciri siswa yang
bersifat aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman
baru. Mereka cenderung berpikiran terbuak dan mudah diajak berdialog. Namun,
siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadangkala
identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai
metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstroming
atau problem solving. Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan
hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.
Untuk siswa
yang bersifat reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati
mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa ini cnderung
“konservatif”, dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat,
baik buruk sutu keputusan. Sedangkan siswa yang bersifat teoris biasanya sangat
kritis, senang menganalisis,dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang
bersifat subjektif. Bagi mereka, berpikir secar arasional adalahsesuatu yang
sngat penting. Mereka juga biasa sangat skeptis dan tidak meyukai hal-hal yang
bersifat sprkulatif. Untuk siswa tipe
pragmatif menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal.
Teori memang penting, kata mereka. Namun , apabila teori tiddak bisa
dipraktekkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka
berlarut-larut dalam membahas aspek teoretis filosofis dari sesuatu. Bagi
mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan hanya jika bisa dipraktikkan.
4. Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar
sngat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama
manusia. Dengan asumsi ini, habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga
bagia, yaitu
1. Belajar teknis (technical learning);
2. Belajar praktis (practical learning);
3. Belajar
emansipatoris (emancipatory learning).
Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaiman berinteraksi denagn alam
sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan car
mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada
tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan
orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhasap alam
berhenti pada suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya denga manusia.
Akan tetapi, pemahaman terhadap alam ini justru relevan jika dan hanya jika
berkaitan dengan kepentingan manusia.
No comments:
Post a Comment